3/30/13


Sumber: wajahbocah.com
Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu bangsa. Semakin tinggi education development index (EDI), maka semakin maju pula peradaban bangsa tersebut.

Berdasarkan data dari UNESCO, badan PBB khusus membidangi pendidikan, EDI Indonesia pada 2011 yaitu urutan ke-69 dari 127 negara didunia. (sumber kompas online)



Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat betapa buruknya kualitas pendidikan di Indonesia. Hal tersebut pula yang kemungkinan besar menajdi acuan dari Kemendikbud untuk membuat 20 variasi paket soal ujian nasional tingkat SMP dan SMA 2013. Tujuan utama dari kemendikbud pastilah ingin memperoleh mutu pendidikan yang lebih baik. Sudah selayaknya, warga Indonesia mendukung kebijakan tersebut.  

Namun dibalik tujuan yang mulia tersebut, Pakayangan (alamat domain blog ini) melihat terdapat beberapa kelemahan didalamnya. Berikut beberapa kelemahan yang akan Pakayangan coba uraikan.

Pertama, sistem pendidikan Indonesia masih labil. Sistem pendidikan Indonesia tidak ubahnya anak remaja yang mengalami masa pubertas. Hal ini tercermin dari perubahan-perubahan pada kurikulum yang terjadi beberapa tahun belakangan. Dalam kurun waktu 10 tahun, kurikulum mengalami perubahan sebanyak 3 kali, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat satuan Pengajar (KTSP) 2006 dan pada 2013 ini akan diterapkan kurikulum baru yang disebut dengan Kurikulum 2013. Jika ditilik secara seksama, perubahan tersebut belum menyentuh pada esensi pendidikan. Yang menakutkan EDI Indonesia malah menurun semenjak diberlakukannya perubahan ini.

Kedua, sistem pengajaran yang diberlakukan di Indonesia sangat buruk. Kalangan atas yang membidangi pendidikan selalu beranggapan kesalahan terletak pada guru. Anggapannya kualitas guru di Indonesia masih rendah. Kemungkinannya bisa iya ataupun tidak. Semenjak perubahan yang terjadi pada 2004, sistem yang diberikan belum begitu jelas. Guru-guru harus menerapkannya, baik yang didaerah maupun perkotaan. Pelatihan yang diberikan kepada guru-guru tersebut memang luar biasa banyaknya. Akan tetapi, seperti yang Pakayangan alami, pelatihan yang diberikan hanya formalitas belaka. Kebanyakan tutor hanya mengejar proyek dan banyak pula orang yang berkedudukan di Dinas Pendidikan tidak memahami konsep dari kurikulum itu sendiri. Sehingga terjadi multi tafsir dikalangan pengajar. Selain itu, peralatan dan perlengkapan yang tidak menunjang, sehingga guru diharuskan memnuhinya sendiri, demi tercapainya tujuan pendidikan secara nasional.

Ketiga, perubahan kurikulum tidak dibarengi dengan dasar yang jelas. Untuk penerapan kurikulum baru, masa percobaan yang diberlakukan begitu singkat. Dari apa yang Pakayangan baca dari berbagai sumber, uji coba kurikulum 2013 dimulai pada akhir 2012. Jika kurikulum tersebut diterapkan pada tahun ajaran 2013/2014 sekitar bulan Juli, berarti uji coba yang dilakukan selama 6 bulan (waktu efektif). Selanjutnya, uji coba dilakukan ditempat-tempat yang kualitas pendidikannya sudah lumayan baik untuk tingkatan Indonesia (Sumatra, Jawa dan Bali).

Keempat, beban pelajaran. Beban pelajaran yang dimaksudkan disini yaitu banyaknya mata pelajaran yang harus siswa kuasai. Untuk tingkat SMP, sebanyak 8 pelajaran wajib ditambah mulok (muatan lokal) yang setiap sekolah bervariasi. Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap UAS dan UAN. Kesemua pelajaran ini harus dipahami dengan baik oleh siswa, agar dapat lulus sesuai dengan nilai yang ditentukan. Dengan banyaknya pelajaran yang harus siswa kuasai, seharusnya pemerintah tidak menggunakan penerapan standarn nilai. Standar nilai yang dipatok oleh pemerintah tidak berdampak pada kemampuan siswa. Hal ini malah berpengaruh pada siswa yang berprestasi disalah satu bidang pelajaran yang diwajibkan. Yang lebih buruk lagi, hasill dari UAN tidak serta merta memuluskan jalan siswa untuk menjejaki jenjang berikutnya. Siswa diharuskan mengikuti tes untuk bisa masuk kesekolah favorit (sekolah berkualitas). Demikian pula untuk siswa SMA, untuk masuk perguruan tinggi, mereka diharuskan mengikuti seleksi yang namanya juga berubah-ubah (SNMPTN). Dapat disimpulkan, standar nilai UAN yang diterapkan dari jenjang dasar pendidikan sampai pada perguruan tinggi tidak saling berpengaruh.

Yang terakhir yaitu Ujian Akhir Nasional (UAN), standar nilai yang diterapkan terasa berat bagi sekolah-sekolah yang berada dipedesaan. Dari segi fasilitas dan kelengkapan lainnya, sekolah-sekolah dipedesaan tertinggal jauh dari sekolah yang berada diperkotaan. Sehingga memunculkan kecurangan pada saat UAN. Sudah rahasia umum, nilai-nilai UAN banyak yang dibantu oleh guru maupun orang dinas pendidikan. Sangatlah wajar, tidak satu sekolah pun yang mau dicap buruk karena banyak siswa didiknya tidak lulus UAN, demikian pula dengan dinas pendidikannya.

Kesimpulannya, sistem pendidikan berkesinambunganlah yang pada saat ini dibutuhkan oleh negara. Bukan hanya sekedar peraturan yang tidak jelas akar permasalahannya. Selain itu, dengan banyaknya beban pelajaran yag harus siswa kuasai dengan fasilitas sekolah yang minim, sebaiknya standar nilai dihapuskan. Standar nilai akan menimbulkan kecurangan dan nilai tersebut tidak bisa dijadikan patokan keberhasilan pembelajaran karena semuanya sudah dimanipulasi.

Akkhirnya, penulis berharap sistem pendidikan di Indonesia semakin berkualitas, sehingga kita bisa sejajar dengan negara-negara lainnya didunia.


0 komentar:

E-book Gratis Viewer

Content of E-book Gratis

E-book Gratis

Loading...

Labels